Pendakian Gunung Lawu (3265 MDPL)

Lawu adalah sebuah gunung yang diyakini sebagai poros Pulau Jawa. Ia menempati urutan ke 76 sebagai yang tertinggi di Dunia. Gunung berjenis stravolcano ini terakhir meletus ditahun 1885. Terkenal memiliki bentang alam dengan keindahan yang mengagumkan. Sisi mistinya masih melegenda lewat tutur cerita dari masa ke masa. Bagi warga sekitar, Lawu menjadi anugrah besar penggerak roda kehidupan. Sementara bagi kami Lawu adalah kawah candradimuka untuk manempa diri. #pendakiangununglawu #lawuviacemorosewu
Panorama matahari terbit dari Pos 5 (jalur Cemoro Sewu) Gunung Lawu

Lawu adalah sebuah gunung yang diyakini sebagai poros Pulau Jawa. Ia menempati urutan ke 76 sebagai yang tertinggi di Dunia. Gunung berjenis stravolcano ini terakhir meletus ditahun 1885. Terkenal memiliki bentang alam dengan keindahan yang mengagumkan. Sisi mistinya masih melegenda lewat tutur cerita dari masa ke masa. Bagi warga sekitar, Lawu menjadi anugrah besar penggerak roda kehidupan. Sementara bagi kami Lawu adalah kawah candradimuka untuk manempa diri.

Keinginan mengunjungi puncak Lawu sudah jauh hari kami agendakan. Namun persiapannya berbanding terbalik. Sangat minim, dan tergolong nekat untuk seorang pemula. Ini seperti melakukan estafet, setelah sehari sebelumnya kami mengakhiri perjalanan panjang di Situ Lengkong Panjalu (Ciamis). Hasrat yang terus memuncak memaksa kami merubah jadwal. Agenda pun dipercepat se-minggu lebih awal.  Tentu saja dengan pertimbangan yang harus kami tanggung sendiri resikonya.

Jumat sore (23/03/18) kelana itu terlaksana. Ekspedisi kecil ini hanya beranggotakan dua orang saja. Seperti biasa ada semacam touring kecil menuju lokasi. Dari Tulungagung kami bergegas ke arah barat melewati Trenggalek, Ponorogo dan langsung memotong jalur utama menuju Magetan. Tapi bukan tanpa drama, harus ada yang ditebus untuk sebuah jalan pintas. 

Hari yang beranjak gelap dan suasana sepi perkampungan sempat membuat kami salah jalan. Itu pun masih berlanjut dengan ritual menembus hutan belantara. Bagian yang terberat adalah saat melintasi tanjakan ekstrim, sementara torsi motor tidak sesui ekspektasi. Sungguh aksi uji nyali yang menyenangkan.

Posisi Gunung Lawu persis di antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ia menjadi benteng besar perbatasan provinsi. Secara adminstrasi gunung ini masuk ditiga wilayah sekaligus. Yaitu Kabupaten Ngawi, Magetan dan Karanganyar. Ada empat  jalur pendakian untuk menuju ke puncak Lawu. Diantaranya Via Srambang (Ngawi), Cemoro Sewu (Magetan), Cemoro Kandang (Karanganyar) dan jalur Candi Cetho (Karanganyar). 

Semua jalur tersebut memiliki karakteristik dan sensai yang berbeda. Jalur yang paling terkenal adalah Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu. Keduanya hanya berjarak sekiatar 300 meter.

Hampir 4 jam lamanya kami berjibaku diatas motor. Melewati satu demi satu perkotaan dan banyak perkampungan kecil. Hingga sampailah di kawasan Telaga Sarangan yang terkenal itu. Ia merupakan bagain dari lereng Lawu dengan ketinggian 1200-an MDPL. Dari Sarangan ke Cemoro Sewu jaraknya masih sekitar 5 Kilometer.

Basecamp Cemoro Sewu
Beban berat seperti berkurang separuhnya, mana kala kami sampai di Cemoro Sewu. Angin kencang dan udara dingin pun seketika menyergap badan. Tidak banyak pendaki yang terlihat, hanya ada dua baris motor. 

Meskipun begitu aktifitas pendakian tidak pernah putus. Selanjutnya kami bergegas menghampiri sebuah warung di dekat parkiran. Bersantai sejenak sembari menikmati semangkok soto dan susu jahe hangat. Kegiatan semcam ini selalu sukses melepas lelah perjalanan.

Suasana pagi di sekitar basecamp Cemoro Sewu Kabupaten Magetan 

Sayangnya agenda pendakian kami masih esok pagi. Itu artinya butuh tempat untuk menginap. “Bisa ke basecamp depan itu mas” jawab pemilik warung menenangkan. Beruntunglah kami malam itu, mendapat tempat singgah  geratisan. Basecamp Cemoro Sewu ini lumayan nyaman, lengkap dengan fasilitas penunjang seperti mushola dan kamar mandi. Memang tidak luas, tapi cukup untuk menampung beberapa rombongan. Keberadaanya sangat membantu para pendaki terutama yang datang dari luar kota.

Menjelang Pendakian 
Gunung Lawu memiliki tiga puncak utama. Yaitu puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan Hargo Dumilah. Yang tertinggi berada di Hargo Dumilah (3265 MDPL). Butuh waktu sekitar 8 Jam jika ditempuh dari Cemoro Sewu. Ini merupakan jalur tercepat sekaligus terekstrim dibandingkan rute lainnya. Nantinya pendaki akan melewati 5 Pos, dengan trek yang hampir seluruhnya berupa tangga batu. Keunikan dari jalur Cemoro Sewu ini adalah adanya warung dibeberpa pos pendakian, bahkan sampai di bagian puncak.

Peta Jalur Pendakian Gunung Lawu

Suasana pagi kala itu sedikit lebih rame. Para pendaki mulai berdatangan, dari rombongan besar, tim kecil seperti kami, hingga yang solo traveling (sendirian). Semuanya sibuk dengan persiapannya masing - masing. Kami merasa seperti yang paling minimalis. Tidak banyak barang bawaan yang kami persiapkan. Untuk melengkapinya kami segera menuju ke warung di seberang jalan. Tentu yang tidak boleh dilupakan adalah sarapan. Nasi pecel dan Teh Hangat menjadi pilihan kami untuk mengisi energi. Sebagai pendukung selama perjalanan, kami hanya mengandalkan 2 botol air mineral dan beberapa makanan ringan.

Saya segera menghampiri loket di dekat gerbang masuk. Sebelum melakukan pendakian wajib hukumnya melakukan registrasi. Hanya ada satu petugas dengan tiga antrian termasuk kami. Selanjutnya beberapa lembar kertas disodorkan untuk kami isi. Demi keamanan ketua atau salah satu dari anggota diharuskan menaruh KTP asli disana. KTP tersebut nantinya bisa diambil setelah selesai pendakian. Ada tiket masuk yang harus dibayar, besarnya Rp10.000,- per orang.

Dari Basecamp ke Pos 1
Kami mengawali dengan doa bersama. Tetap memohon perlindungan dan petunjuk pada sang Pemilik alam. Akhirnya langkah pertama dimulai. Perlahan kami meninggalkan pintu gerbang dan segera mendapati suasana baru. Cuaca cerah dan hangat mentari seolah menunjukan hari itu bersahabat. Estimasi waktu dari Bascamp meuju Pos 1 adalah 1,5 Jam. Waktu tempuh tersebut untuk ukuran perjalanan santai.

Pintu gerbang pendakian gunung Lawu dari Cemoro Sewu

Sedari awal jalannya berupa makadam (batuan yang disusun rapi) tapi masih tergolong landai. Di bagian tertentu ada yang cukup menanjak, sangat pas untuk pemanasan. Bagi pemula seperti kami, fase ini adalah penyesuaian diri. Baru beberapa menit  saja nafas terasa sesak, disusul detak jantung yang ikut meningkat. Kami harus segera beradaptasi jika memimpikan puncak diatas sana. Perlahan namun pasti kami mulai menemukan ritma yang pas. Mulai bisa mengatur nafas dan belajar selaras dengan alam. Yang jelas dilarang keras meremehkan alam sekecil apapun. Betapa mendaki gunung tidak hanya ujian fisik tapi juga mental. Kami pun melihat sendiri salah satu dari pendaki yang memutuskan menyerah diujian tahap awal ini.

Suguhan hutan pinus menjadi pemandangan awal. Selajutnya melintasi ladang penduduk yang ditandai dengan adanya pos bayagan (pos sayur). Ini adalah titik pertengahan menuju Pos 1.  Perjalanan pun terus berlanjut sampai di sendang Panguripan. Sebuah sumber mata air alami yang dikeramatkan. Bagi para pendaki airnya bisa dimanfaatkan untuk mengisi perbekalan atau sekedar untuk cuci muka. Dari tempat ini kami naik sedikit dan sampailah di Pos Pertama. Ada semacam kebahagian kecil yang terpancar. Tentu saja karena target waktu terpenuhi dan bonus istirahat yang dinanti.

Di Pos 1 terdapat bangunan (shelter) yang berukuran cukup luas. Bangunan ini bisa digunakan untuk istirahat maupun berteduh dikala cuaca buruk. Mungkin muat sekitar dua puluhan orang. Di dekatnya terdapat warung, namun pagi itu masih belum buka.

Hutan belantara memenuhi sepanjang trek menuju Pos 1 

Menuntaskan trek panjang Pos 2
Ini adalah trek terpanjang dari semua trek antar Pos. Butuh waktu tempuh sekitar 2,5 Jam. Jalurnya mulai terjal, membentuk tangga batu berundak. Pohon - pohon besar berjenis pinus masih menjadi pemandangan utama. Hijau luas berpadu dengan vegetasi hutan lainya. Masih terlihat sedikit sisa kebakaran hutan tahun 2015 silam. Maka tidak heran jika banyak terpasang papan larangan membuat api.

Sampai disini kami mulai menikmati perjalanan. Menghirup udara sejuk dan bebas memandangi pegunungan disekitarnya. Sesekali terdengar gemuruh angin yang cukup keras. Ini mungkin yang disebut dengan suara alam.

Masih di jalur menuju Pos 2, kami bertemu batu besar yang terkenal dengan “watu jago”. Batu ini sangat efektif dijadikan penanda. Bentuknya pun unik dengan jurang disisinya. Tapi sayang keindahannya tergangu karena adanya coretan (vandalisme) dari tangan - tangan jahil. Coretan tidak bertanggung jawab tersebut kami jumpai tidak hanya di watu jago saja, tapi juga di batu – batu yang lain.

Trek yang panjang itu akhirnya kami tuntaskan. Di Pos 2 terdapat bangunan (shelter) dan warung di sampingnya. Posisi pos berada di bawah dinding batu yang tinggi. Halaman di Pos 2 ini memang cukup luas. Terlihat dua tenda yang berdiri tepat di depan warung. Meskipun di dalam warung tersebut juga disediakan ruang untuk beristirahat.

Dua tenda milik rombongan pendaki berdiri di halaman Pos 2
Suasana teduh di depan shelter Pos 2 


Nyeker dan Ujian mental menuju Pos 3
Matahari mulai meninggi namun teriknya seperti tidak terasa. Dikondisi semacam ini harus tetap waspada, Karena paparan sinar ultraviolet sangat mungkin membakar kulit. Keringat bercucuran menyertai langkah yang sudah memasuki 5 jam perjalanan. Pada titik ini adalah ujian mental sebenarnya. Sebagai pemula konsistensi kami sangatlah tidak stabil. Tenaga mulai terkuras dan masih sampai di pertengahan. Kami sering berhenti untuk istirahat. Bahkan sempat tertidur dipinggir tanga - tanga batu itu.

Jarak antara Pos 2 ke Pos 3 sekitar 800 meter. Tapi medannya lebih berat dari trek sebelumya. Banyak tanjakan dan hampir tidak ada bonus jalan landai. Di trek ini hutan pinus digantikan dengan pemandangan alam terbuka. Batu - batu besar mendominasi. Di samping kanan dan kiri jalan berupa tebing dan jurang yang cukup berbahaya. Sesekali tercium juga wangi belerang jika angin cukup kencang.

Bentang alam di sekitar trek menuju Pos 3

Cobaan seperti tidak ada habisnya. Sendal yang saya pakai tiba - tiba copot. Itu artiya perjalanan selajutnya harus dilakukan dengan nyeker (tanpa alas kaki). Bukan perkara mudah mengingat medannya bukan berupa tanah melainkan batu. Sebagian batu – batu tersebut ujungya runcing, jadi ketika berjalan harus ekstra hati - hati. Bagi warga sekitar nyeker adalah hal biasa, karena mereka sudah terbiasa sedari kecil. Seperti halnya penjual makanan atau pemilik warung yang terbiasa membawa beban logistik untuk dijual lagi diatas sana.

Dengan tetap terus melangkah sampailah kami di Pos 3. Ada sebuah bangunan (shelter) dengan halaman yang tidak terlalu luas. Mungkin hanya cukup untuk satu tenda. Tidak ada warung seperti halnya di Pos - Pos sebelumnya. Disekitar pos ini biasanya ada yang menaruh sesajen dan dupa.

Jalak Lawu
Sambutan pun datang dari sang tuan rumah. Menurut cerita, jika bertemu dengan burung Jalak Lawu itu tandanya diterima sebagai tamu. Banyak yang menganggap Jalak Lawu sebagai jelmaan dari kiai Lawu. Ia adalah abdi setia dari Raja Brawijaya V yang bertugas menjaga gunung Lawu. Sebagaian orang  meyakini burung ini sebagai peliharaan Raja Brawijaya V. Oleh karena itu ada larangan untuk tidak mengganggunya. Cerita ini masih langgeng di dengungkan sebagai khasanah budaya masyarakat sekitar.

Burung Jalak Lawu ( Jalak Gading ) satwa endemik Gunung Lawu

Jalak lawu merupakan spesies endemik Gunung Lawu. Itu artinya ia tidak ditemukan di daerah lainnya. Ia serig juga disebut dengan Jalak Gading. Karena warnanya yang gading atau coklat kehitaman. Ciri fisik lainnya adalah paruh dan lingkar mata berwarna kuning. Yang unik burung ini sangat akrab dengan manusia. Ia tidak takuk ketika didekati, atau dikasih makan.

Jalak lawu ini dipercaya dapat menjadi pemandu jalan. Ini bukan sekedar mitos, kami pun membuktikannya sendiri. Ia sering hinggap di dekat kami, kemudian terbang lagi dan hinggap lagi di dekat kami. Arah terbangnya sering mengikuti trek menuju puncak. Jika kabut datang ini bisa menjadi alternatif yang membantu. Selain menjadi pemandu, ia juga dipercaya memberikan info jika akan terjadi bahaya.


Medan terberat di Pos 4
Perjelanan di Pos 4 adalah yang terberat. Cuaca cerah mendadak berkabut. Seketika jarak pandang terhalang. Hujan pun turun perlahan tepat di jalan dengan kemiringan super itu. Sekedar informasi, trek menuju Pos 4 ini sangat curam. Di beberpa bagian dipasang pagar pembatas berupa beton dan pegangan besi diatasnya. Namun kondisinya sudah mulai rusak. Langkah kaki harus tepat memilih batu - batu yang diinjak sebagai tumpuan. Salah sedikit bisa terpleset, apalagi jika medannya sedikit licin karena hujan.

Di tengah rintik hujan kami masih tetap mantab melangkahkan kaki. Suhu karena hujan mendadak turun drastis. Itu pun masih di dukung dengan ketinggian 3000 MDPL dan angin yang berhembus tipis. Sungguh nikmat meresapi keadaan semacam ini. Tapi bukan kami sendiri, beberapa kelompok lain juga mengalaminya.

Satu pelajaran lagi yang kami dapat adalah tentang keakraban. Sapaan seperti “monggo mas, semangat, kurang sedikit lagi posnya, mari....” selalu diucapkan mana kala berpapasan dengan sesama pendaki. Tanpa mengenal status sosial dan latar belakang orang yang baru kenal. Semuanya mendadak menjadi saudara. Tidak jarang kami juga berkenalan dan sedikit berbincang santai sembari melepas lelah. Menambah persahabatan adalah hal wajib bagi sesama pendaki. Karena sejatinya kitapun tidak bisa hidup sendiri.

Istirahat setelah lelah menempuh trek terekstrim menuju Pos 4

Jika mulai lelah kami menerapkan skema setiap 10 menit berhenti untuk insitirahat. Yang penting harus tetap berjalan. Salah satu hiburan yang menarik di jalur Pos 4 ini adalah memandangi bonsai yang menempel liar di dinding tebing batu. Macam tumbuhan khas pegunungan seperti edelwais pun juga sering terlihat. Bahkan Lawu juga dijuluki sebagai gunung seribu bunga dan seribu jamu. Berbagai macam bunga langka seperti anggrek hitam Lawu dan tanaman obat tumbuh subur disini.

Beberapa menit berlalu sampailah kami di Pos 4. Hanya ada papan tulisan yang menjadi penanda. Tempatnya sempit, tidak ada bangunan untuk istirahat. Ada beberapa spot foto menarik dengan latar belakang yang pas. Akan tetapi kabut tebal masih menyelimutinya.

Melewati Sumur Jolotundo dan Bermalam di Pos 5 
Dari Pos 4 menuju Pos 5 Jaraknya sekitar 150 meter. Tentu saja masih dengan kemiringan ektrimnya. Jarak yang cukup dekat bisa jadi malah terasa lama. Mana kala mata menengok ke atas dan hanya terlihat tangga batu yang ujungnya menghilang dibalik semak.

Kami masih terus saja melagkah menembus kabut yang mulai datang lagi. Semakin ke atas cuacanya semakin sulit diprediksi. Begitu cepat berganti seakan tidak bosan memberi kejutan. 
Dari sini pemandangan lebih luas dan terbuka. Vegetasinya tidak selebat di Pos sebelumnya. Lebih banyak bukit dengan rumput liar.

Mendung dan kabut mulai datang menjelang sore 

Sebelum sampai di Pos 5, kami menjumpai sumber mata air keramat. Namanya sumur Jolotundo. Bentuknya berupa goa vertikal dengan ukuran tidak terlalu besar. Kebanyakan pendaki jarang memasukinya. Itu karena aksesnya yang curam dan gelap. Untuk bisa sampai harus turun kebawah sedalam 5 meter. Kabarnya dari sumur Jolotundo ini bisa terdengar suara debur ombak pantai selatan yang jauhnya mencapai ratusan kilometer dari puncak Lawu.

Dari sumur Jolotundo menuju Pos selanjutnya ada bonus jalan datar. Disisi jalan tersebut terdapat jurang tersamar kabut. Tidak butuh waktu lama kami pun sampai di Pos 5. Sebuah dataran yang luas diantara dua bukit. Lengkap dengan warungnya yang selalu sibuk menyambut para tamu. Banyak pendaki yang mendirikan tenda dan bermalam disana.

Kami langsung menuju warung. Merebahkan badan yang sedari pagi terus dipaksa berjalan. Kepulan asap dari dapur warung seperti tidak ada hentinya. Seorang dibaliknya adalah wanita berumur 40 tahunan yang selalu sibuk memasak. Ia jarang sekali beranjak dari tungku tempat ia beraktifitas. Menjaga bara api dan persediaan kayu bakar demi menyajikan hidangan terbaik untuk tamu - tamunya. Kami percaya betul, bahwa profesi yang iya jalani saat ini adalah anugrah besar bagi para pendaki.

Mahal kah harga makanan diatas ketinggian 3100 MDPL itu?, Jawabnya adalah tidak. Selisihnya sangat sedikit bahkan bisa dikatakan sama. Mengingat betapa beratnya mengangkut logistik dari bawah sana. Untuk satu porsi nasi pecel harganya dua belas ribu rupiah. Segelas teh hangat atau susu jahe dijual tidak lebih dari lima ribu rupiah. Harga gorengan sekitar seribu sampai dengan dua ribu rupiah. Harga yang merakyat untuk menebus sebuah kebutuhan primer.

Ruangan di dalam warung sangatlah luas. Semua sisinya tertutup rapat. Mencegah angin gunung jika malam tiba. Kondisinya pun cukup bersih dan nyaman. Maka tidak heran jika dijadikan langganan tempat bermalam. Inilah yag menberanikan kami tidak membawa tenda pada pendakian kali ini. Tapi sangat beresiko jika dilakukan tanpa perhitungan yang matang. Mungkin jika bertepatan hari libur, bisa saja kami tidak mendapat tempat disana.

Suasana warung di Pos 5 tempat para pendaki beristirahat

Sore itu suasana warung tampak lengang. Hanya ada tiga orang dari rombongan lain yang kami temui. Setelah menyantap makan, kami memohon izin pemilik warung. “Bu bolehkah kami menginap disini” tanya saya penuh harap. “Silahkan Mas, disini sudah biayasa orang nginep” jawab ramah pemilik warung. Ya, Kami memutuskan akan menginap di warung tersebut sampai esok pagi.

Yang istimewa lagi, di Pos 5 ini ada fasilitas buang hajat. Sebuah WC mungil dibangun sedikit menjauh di balik warung. Ada dua bilik yang tersedia dengan atap terbuka. Semuanya dalam kondisi yang layak pakai. Untuk airnya harus membeli di warung seharga lima ribu rupiah per-botol (1,5 liter). Keberadaan WC ini sangatlah membantu.

Sore berganti malam, kami masih bertahan di dalam warung. Semakin malam pendaki silih berganti berdatangan. Ruangan pun terasa sesak di setiap sudutnya. Ternyata memang banyak yang mengandalkan warung ini untuk bermalam.

Sedikit yang bisa kami lakukan malam itu. Hanya istirahat santai saja sembari menunggu pagi datang. Dari dalam sempat terdengar juga suara rintik hujan. Sungguh tidak senyaman itu tidur diatas dataran nan tinggi seperti ini. Berselimut dingin dan menahan sakit persendiaan imbas dari kerja paksa badan. Syukur kami bisa berdamai dengan alam. Mata pun terpejam cukup lama, menikmati malam di puncak gunung untuk kali pertama.

Bertemu Matahari Terbit di Atas Awan
Suara riuh terdengar dari luar tempat kami tidur. Menembus dinding terpal dari bangunan semi permanen itu. Akhirnya membangunkan kami dari kenikmatan istirahat panjang. Tapi di dalam ruang semua masih serba gelap. Hanya cahaya senter kecil yang terlihat. Sementara asap warung terus saja mengepul. Mengahangati para tamu yang jumlahnya membludak saat kami terbangun. Mereka masih tergeletak tiduran menahan lelah.

Kami segera menghapiri pintu dan bergeges keluar. Suara itu bersumber dari histeria para pendaki. Mereka memenuhi setiap sudut Pos 5 untuk bersiap menyaksikan fajar. Semua sibuk dengan peralatan rekam masing - masing. Beradu cepat memilih posisi yang tepat. Meski subuh masih beberapa menit lagi menyapa.

Melihat matahari terbit merupakan hal yag biasa. Tapi menyaksikannya langsung dari atas awan adalah impian banyak orang. Terlebih lagi bagi para pemburu fajar. Yang rela bersusah payah mendaki di malam - malam yang sebagian orang lebih memilih tidur nyenyak di kamar.

Kami sendiri tidak berambisi tentang hal ini. Bahkan mengubur dalam - dalam momen yang serba sulit didapat itu. Karena bagi kami tujuan utama adalah puncak saja. Namun begitulah semesta. Selalu saja menghadiahkan sesuatu tanpa terduga.

Kami pun tersadar,  jika tempat berpijak kala itu sangatlah istimewa. Salah satu yang terbaik untuk berjumpa sang bagaskara. Secepatnya saya ikut menyibukkan diri mencari posisi. Tapi semua terlambat, halaman sudah penuh orang yang lebih sigap bersiap.

Semesta merestui. Sore sebelumnya, saya sempat iseng mengelilingi semua sudut Pos. Ingatan pun tertuju pada sebuah lokasi tersembunyi. Benar saja, tempatnya sangat strategis. Beruntung tempat itu luput dari pengawasan para pendaki lain. Kami harus berkejaran dengan waktu, karena semua akan berlangsung begitu cepat.

Ramai orang bersiap menyambut fajar 
Samudra awan  saat fajar menyingsing di Pos 5 Gunung Lawu

Detik - detik berhaga itu akhirnya datang dengan menawan. Pendar pesona sang fajar menampakan diri penuh keanggunan. Cahaya kuning emas membias di atas samudra awan yang bergerak harmoni. Diikuti angin subuh yang behembus tipis menerpa embun dedaunan. Kami hanya bisa terdiam dan menghirup sejuk dalam - dalam. Pantaslah banyak orang yang rela bersusah payah demi pesta cahaya itu. Sungguh rahmat Tuhan yang luar biasa cantiknya.

Foto siluet dengan latar belakang negeri diatas awan berhasil menjadi kenangan. Kenangan yang sangat berkesan dan mungkin saja menjadi candu di kemudian hari. Tapi lebih dari itu otak merekam sagat tajam lewat mata kepala ini. Lalu menyimpannya rapat - rapat penuh bahagia. Sebuah Cerita yang pasti kami tidak akan pernah lupa jika ditanya kapan saja. 

Sendang Drajat
Estafet selanjutnya adalah Sendang Drajat. Sumber mata air di dekat puncak Lawu. Perjalanan dari Pos Lima menuju tempat ini cukup berkesan. Jalan setapak nampak jelas membelah bukit. Sedikit melingkar dengan pemandangan kota Magetan dari ketinggian. Telaga sarangan juga terlihat, bersanding dengan padatnya pemukiman dan kotak - kotak sawah nan jauh disana.

Sendang Drajat merupakan tempat yang dikeramatkan. Dipercaya sebagai mata air suci yang pernah dipakai oleh Raja Brawijaya V. Airnya jernih dan melimpah. Bagi pendaki, ini adalah oase untuk memenuhi kebutuhan logistik. Namun bagi sebagian orang lebih dari itu. Mandi di sendang ini menjadi ritual yang diyakini penuh berkah. Tentu saja tidak semudah itu melakukaknnya. Hanya orang bernyali tinggi yang mampu. Bayangkan saja, betapa dinginnya mengguyurkan air keseluruh tubuh di lembah gunung itu. Suhu di sekitar puncak Lawu terkenal super dingin. Bahkan di bulan tertentu bisa dijumpai embun yang berupah menjadi lapisan es tipis.

Pagi itu suasana di sendang drajat cukup ramai. Masih terlihat beberapa tenda yang berdiri. Ada yang masih bersantai selepas melihat sunrise. Ada juga yang beruji nyali dengan nekat mandi disana. Namun lalu lalang orang menuju puncak lebih banyak jumlahnya. Sebagai tempat transit di tempat ini juga terdapat warung.

Pemandangan jalur menuju sendang Drajat
Pemandangan Kota Magetan dari puncak Lawu 
Mendaki tanpa sendal (nyeker) menuju puncak
Salah satu keindahan vegetasi di sekitar lembah Gunung Lawu
Terlihat samar penampakan gunung - gunung di sebelah timur
Sendang Drajat sumber mata air di sekitar puncak Lawu 

Cerita Menjelang Puncak
Cuaca cerah mengiringi kami selepas singgah di Sendang Drajat. Mentari meninggi, tapi suhu menjelang puncak tetap saja beku. Sudah sehari lebih pendakian ini berlangsung. Kami harus tetap menjaga asa demi puncak.

“Wah hebat kakinya kuat, semangat mas” sapa seorang pendaki ketika melihat saya telanjang kaki. Saya membalasnya dengan senyuman, tentu sambil menahan sedikit sakit. Beda dengan jalur di Pos – Pos sebelumnya. Nyeker pagi itu tidak berjalan mulus. Banyak kerikil tajam terasa menembus telapak. Waktu tempuh pun bertambah lama.

Tidak ada cara lain selain terus berjalan. Sedikit terhambat tapi hikmahnya besar. Kami jadi lebih peka dengan suasana. Mengamati embun di dedaunan, Jalak lawu di ranting pohon dan tentu saja savana dengan batas cakrawala. Semua terekam kuat dalam ingatan.

Dari kejauhan terlihat pemukiman berdiri di salah satu puncak Lawu. Atapnya nampak beragam warna. “itu warung Mbok Yem, warung tertinggi se-Indonesia” rekan saya memberitahu. Saya menghela nafas panjang. Langkah pun kami percepat.



Hargo Dalem (3100 MDPL) berhasil kami singgahi. Puncak pertama untuk pagi yang bersejarah. Tapi tidak tampak seperti puncak. Mungkin karena adanya pemukian semi permanen itu. Sisi seberang timur lah yang mengingatkan pada ketinggian.

Di warung Mbok Yem saya membeli sendal. Walaupun hanya sendal jepit, tapi fungsinya sangat krusial. Sementara, beberapa pendaki sudah memenuhi setiap sudut warung ini. Banyak pula tenda berdiri di halamannya.

Napak Tilas di Hargo Dalem
Sebuah misteri dan sejarah terukir abadi di Hargo Dalem. Dulu, di akhir abad 14 Raja Brawijaya V memilih puncak Lawu untuk mengasingkan diri. Merelakan masa jayanya sebagai Raja Majapahit terakhir. Kemudian melakukan moksa.

Moksa adalah melepaskan diri dari semua ikatan duniawi kehidupan fana. Orang awam mengartikannnya dengan menghilang tanpa jejak atau meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad. Tradisi ini lazim dilakukan oleh raja - raja Jawa, sebagai bentuk penyempurnaan hidup.

Inilah yang melatar belakangi suasana keramat di Lawu. Banyak orang yang melakukan napak tilas sejarah dengan cara berziarah. Bersilaturahmi dengan leluhurnya meskipun beda dunia.


Bangunan yang diyakini sebagai pamoksan sang raja hampir setiap hari kunjungi. Bagian inti bangunan tersebut berbahan kayu dengan ukiran - ukiran khas Jawa. Kemudian ada bagian luar yang lebih permanen melindungi bangunan inti. Bendera merah putih besar dipasang mengelilingi bagian samping. Suasana sunyi dan tenang sangat terasa ketika kami datang.

Salam hormat kami untuk sang Raja. Leluhur yang mengawali terbentuknya Nusantara. Tanah air yang terdiri dari bangsa - bangsa yang kini lahir kembali sebagai Indonesia Raya.

Melepas Haru di Puncak Hargo Dumilah
Pendakian puncak babak kedua dimulai. Tujuan utama adalah hargo Dumilah. Tempat tertinggi se-gunung Lawu (3265 MDPL).

Selepas dari Hargo Dalem, kami balik arah. Menyusuri kembali jalan sebelumnya. Tidak jauh dari situ ada papan penunjuk. Terlihat jalur setapak menjulang ke atas. Hanya tanah dengan bongkahan batu yang berserakan.


Kami mulai naik, bersama dengan para pendaki lain. Sedikit sekali yang lewat jalur ini. “Puncak kurang sedikit lagi mas ” sapa pendaki lain yang sedang turun. Semangat seperti dipacu oleh rasa penasaran. Jalur yang tidak sampai 200 meter dari hargo Dumilah itu ternyata cukup menantang. Sesekali kami harus berhenti untuk mengatur nafas. Kemudian merangkak, dan berjibaku dengan tanah yang super miring.

Sayup – sayup terdengar suara dari atas. Rasanya tidak asing dengan itu. Kami semakin tidak sabar lagi untuk mendekat. Akhirnya, tangis pecah kala sampai dipuncak tertinggi. Sekelompok pendaki melantunkan sholawat (Mahalul Qiyam) dengan mantab. Meluluhkan hati siapapun yang mendengarnya.

Selang beberapa detik kemudian suasana bertambah haru. Sekelompok pendaki lain mengibarkan sang saka diiringi lagu Indonesia Raya. Sungguh kami pun ikut terbawa suasana sangat bahagia itu.



Suguhan bentang alam dari puncak sungguh mewah. Dari ketinggian kami mendapati berbagai sudut pandang. Memanjakan mata, memanjakan rasa lewat suasana baru.

Tapi kabut asap mendadak datang begitu cepat. Hujan menyertai dengan rintiknya yang dingin. Kami harus rela mengakhiri kunjungan ini. Berat hati untuk pulang, namun semua punya masanya.

Semua rangkaian perjalanan telah usai. Waktunya berpulang dengan segudang cerita dan pengalaman. Mendaki gunung mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Bahwa untuk sampai sebuah tujuan perlu proses yang harus dijalani, diyakini, dan dicintai. 


*Video Dokumentasi Pendakian Lawu oleh "Ombone Jagad"