Ziarah Walisongo, Ekspedisi Religi Keliling Tanah Jawa

Masyarakat Jawa khususnya sangat menghormati keberadaan Walisongo. Eksistensinya tetap dipertahankan melalui berbagai cara. Salah satunya melalui tradisi Ziarah Walisongo. Suatu kegitan napak tilas dengan mengunjungi makam para Wali Allah. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan. Biasanya di bulan - bulan tertentu jumlahnya bertambah besar. Di desa biasanya orang akan melakukan ziarah Walisongo ini secara berkelompok. Meskipun begitu ada juga yang hanya sekeluarga atau atau bahkan seorang diri.
Hingga sekarang nama besar Walisongo masih akrap kita dengar. Ceritanya terus bersambung dari generasi ke generasi. Seakan tidak lekang tergerus zaman. Walisongo adalah dewan dakwah yang menyebarkan Islam di Nusantara sejak abad ke 14 M. Anggotanya di kenal dengan sebutan Wali atau Sunan. Seorang tokoh karismatik yang diyakini memiliki kedalaman ilmu dalam berbagai hal. Bahkan masih memiliki garis keturunan dengan Nabi Muhammad SAW dan Raja - Raja di Jawa. Di era Walisongo ini pernah terjadi revolusi besar. Orang - orang peribumi  berbondong - bondong masuk Islam dengan masif. Dilanjutkan dengan lahirnya kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Kini prestasi tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Melalui pendekatan budaya, Walisongo memperkenalkan Islam yang damai. Berbagai tradisi Jawa yang sudah berkembang disesuikan dengan nilai Islam. Munculah keindahan alkulturasi budaya yang dapat dinikmati hingga kini. Kesenian wayang, gamelan, dan ragam tembang seperti macopat adalah sebagian kecil contohnya. Media dakwah kreatif ini terbukti ampuh menarik perhatian. Maka tidak heran jika sosok para wali sangat lekat dihati masyarakat.

Masyarakat Jawa khususnya sangat menghormati keberadaan Walisongo. Eksistensinya terus dipertahankan melalui berbagai cara. Salah satunya melalui napak tilas dengan mengunjungi makam para Wali Allah tersebut. Kagiatan ini lazim disebut sebagai Ziarah Walisongo. Bentuk tradisi yang sudah turun temurun dilakukan. Bahkan di bulan - bulan tertentu, antusiasmenya bertambah besar. Di desa biasanya orang akan melakukan ziarah Walisongo ini secara berkelompok. Meskipun begitu ada juga yang hanya sekeluarga atau atau bahkan seorang diri.

Di awal bulan Rajab (1437 H) kemarin, kami berkesempatan mengikuti ziarah Walisongo. Kami ikut bergabung bersama rombongan dari Tulungagung. Dua bus berukuran besar sudah penuh dengan jama’ah. Ini adalah kegiatan rutin yang diadakan setiap tahun. Salah seorang rombongan ada yang mengajak serta anak -anaknya. Ia sangat antusias untuk mengenalkan sejarah leluhurnya lewat napak tilas ini.

Posisi keberangkatan bus berada di wilayah paling selatan Jawa. Sementara tujuan kami berada di pesisir utara. Perjalanan darat ini akan menempuh tiga provinsi sekaligus. Berikut ini daftar tempat yang akan kami kunjungi secara beruntun :
  • Makam Sunan Ampel di Surabaya (Jawa Timur)
  • Makam Sunan Giri di Gresik (Jawa Timur)
  • Makam Sunan Gresik di Gresik (Jawa Timur)
  • Makam Sunan Drajat di Lamongan (Jawa Timur)
  • Makam Sunan Bonang di Tuban (Jawa Timur)
  • Makam Sunan Muria di Gunung Muria, Kudus (Jawa Tengah)
  • Makam Sunan Kudus di Kudus (Jawa Tengah)
  • Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak (Jawa Tengah)
  • Makam Sunan Gunung Jati di Cerobon (Jawa Barat)
  • Makam Syeh Panjalu di Ciamis (Jawa Barat)



Siang setelah sholat Jum’at bus bergerak pelan menuju pusat kota Tulungagung. Perjalanan ini diawali dengan berziarah ke pondok PETA. Letaknya persis di sebrang Masjid al Munawar ( alun - alun ). Tempat di mana Hadratus Syaikh KH Mustaqim bin Husain di makamkan. Seorang Imam Besar Thariqah yang juga pahlawan saat zaman penjajahan. Kisahnya jarang dipublikasikan, akan tetapi nama besarnya tidak bisa ditutupi. Hal itu terlihat dari acara Haul yang diadakan pondok PETA setiap tahun sekali. Jutaan orang dari penjuru Nusantara selalu ramai memadati acara tersebut.

Dari pusat kota Tulungagung perjalanan dilanjutkan ke arah utara. Kondisi jalan cukup ramai kala itu. Beberapa jam berlalu kota Kediri terlewati. Waktu sholat ashar tiba, bus pun berhenti di Masjid dekat pasar Tunggorono kabupaten Jombang. Selesai sholat hujan mengguyur dengan derasnya. Jalanan yang kami lewati sebagian tergenang air. Namun begitu semua berjalan lancar.


Makam Sunan Ampel (Surabaya)
Malam pukul 21.18 WIB Bus berhenti di lapangan parkir Makam Sunan Ampel. Terlihat masih ada sisa hujan yang belum kering. Surabaya malam itu terasa lebih dingin dari biasanya.  Kami pun segera turun dan bergegas menuju Makam. Beberapa menit kemudian sebuah gapura masuk kami dapati. Gapura tersebut menjadi penanda yang cukup jelas, karena letaknya di seberang jalan besar. Komplek Makam ini berada di Jl KH Mas Mansyur Kelurahan Ampel, Semampir, Surabaya, Jawa Timur. 



Jalan menuju makam berada persis ditengah pasar. Kios - kiosnya berjajar di samping kiri dan kanan jalan. Berbagai macam barang dagangan pun digelar selama dua puluh empat jam disana. Selain dihuni pedagang lokal, di pasar Ampel juga terkenal dengan pedagang keturunan Arab. Hal itulah yang membuat pasar di Ampel menjadi unik. Barang – barang dagangannya sangat khas dan sulit ditemui di tempat lain. Melewati pasar ini seperti berada di perkampungan arab yang ada di timur tengah.

Tepat diujung pasar ini adalah Masjid Ampel. Masjid tua legendaris yang dibangun sejak era kerajaan Majapahit. Arsitektunya mengagumkan, gabungan dari budaya Arab dan Jawa Kuno. Di sekitarnya juga masih banyak bangunan - bangunan lawas. Membuat suasana tempo dulu semakin kental terasa.


Kami semakin tertarik untuk mengenal banyak hal lagi tentang Sunan Ampel. Dari beberapa sumber sejarah diketahui bahwa Sunan Ampel memiliki nama asli Sayid Ali Rahmatullah (Raden Rahmat). Keturunan Nabi Muhammad SAW ke-23. Putra dari Syekh Ibrahim Asmoroqondi dan Dewi Candrawulan. Merupakan cucu seorang raja dari kerjaan Campa.

Peran Sunan Ampel ini bermula saat raja Majapahit saat itu mengundangnya ke Jawa. Beliau yang juga masih keponakan salah satu istri Prabu Brawijaya tersebut ditugaskan untuk memperbaiki moral bangsawan dan kawula Majapahit. Seiring berjalannya waktu Sunan Ampel berhasil melaksanakan perintah tersebut. Beliau mendapat hadiah tanah di wilayah Ampel Surabaya. Kemudian mendirkan sebuah masjid dan pesantren untuk menyebarluaskan Islam. Dari situlah kader - kader baru pejuang Islam dibentuk. Mulai rakyat biasa hingga putra dari petinggi tanah Jawa menjadi santri disana. 

Alumni dari pesantren Ampel ini banyak yang menjadi orang besar. Ke-dua putra sunan Ampel yaitu Sunan Bonang dan Sunan Drajat juga menjadi bagian dari Walisongo. Sunan Giri dan Raden Paku (Raja Demak) juga santri di Ampel Denta. Sebagai seorang sesepuh Walisongo, beliau sangat sukses mempersiapkan generasi penerus.

Sunan Ampel wafat diperkirakan pada tahun 1478 H. Makamnya berada di sebelah barat Masjid Ampel. Sebelum menuju kesana, kami berhenti sejenak di tempat wudhu untuk bersuci. Kemudian kembali melangkahkan kaki di jalan kecil berpaving samping masjid itu. Untuk sampai di makam utama harus melewati tiga gapura masuk. Semuanya punya makna filosofis tersendiri. Misalnya gapura paneksen yang melambangkan syahadat.


Kerumunan orang dari rombongan lain semakin membludak. Berdesakan memenuhi pintu masuk gapura. Setiap harinya para peziarah memang tidak pernah putus mengunjungi tempat ini. Masing – masing rombangan membentuk barisan rapi mengelilingi makam. Sayup - sayup terdengar lantunan doa, dzikir dan bacaan ayat suci yang saling bersautan

Di area tersebut tidak hanya makam Sunan Ampel saja. Ada juga makam Mbah Soleh dan Mbah Sonhaji (Mbah Bolong). Santri dari Sunan Ampel yang memiliki cerita terkenal. Mbah Soleh adalah seorang yang dipercaya menjaga kebersihan di lingkungan masjid Ampel. Konon beliau meninggal dan hidup lagi sebanyak Sembilan kali. Makamnya yang berjumlah sembilan menjadi bukti kebenaran cerita ini hingga sekarang. Sedangkan Mbah Sonhaji  ceritanya bermula dari banyaknya orang yang meragukan arah kiblat masjid Ampel. Mbah Sonhaji kemudian menjawabnya dengan melubangi Imaman Masjid. Hebatnya dari lubang tersebut tembus sebuah pemandangan Kakbah yang ada di Makkah.


Masih di sekitar Makam, kami mendapati gentong - gentong berisi air. Kabarnya air tersebut berasal dari sumur bersejarah yang kini sudah ditutup besi. Banyak orang meyakini air tersebut memiliki kasiat layaknya air zam-zam di Makkah. Peziarah memanfaatkannya untuk minum dan terkedang ada yang membawanya pulang.


Kami keluar dari komplek makam yang banyak ditumbuhi pohon rindang itu. Kembali menyusuri Masjid dan ramainya pasar untuk melanjutkan perjalanan. Sungguh masih banyak lagi informasi menarik tentang tempat ini. Namun karena jadwal yang cukup padat, kami harus tetap mematuhi agenda yang sudah dibuat.

Makam Sunan Giri
Perjalanan masih berlanjut ke arah utara, Kota Gresik akan kami singgahi setelah Surabaya. Ada dua makam wali yang masuk agenda kunjungan ini. Itu adalah makam Sunan Giri dan Makam Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim). Mereka adalah bagian dari sesepuh yang membesarkan nama besar Gresik. Kota pesisir utara yang terkenal dengan kemegahan industrinya itu. Banyak sejarah besar yang tersimpan disana. Tentang Islam dan kejayaan masa silam yang jarang terpublikasikan.

Hari semakin malam ketika dua bus rombongan ziarah ini memasuki perbatasan kota. Pukul 21.30 WIB kami sampai di pelataran terminal Desa Kebomas. Terminal khusus yang menampung bus – bus rombongan ziarah wali di area Makam Sunan Giri. Terlihat beberapa bus sudah parkir memanjang. Meskipun malam, aktivitas di terminal ini seakan tidak ada matinya. Jarak antara terminal dan makam sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar satu kilometer saja.


Ketika turun dari bus puluhan tukang ojek bergegas mendekati kami. Merekalah yang akan mengantarkan peziarah dari terminal ke lokasi makam. Namun begitu ojek bukanlah satu – satunya kendaraan, Dokar yang khas juga masih banyak ditemui di terminal tersebut. Kendaraan yang ditarik kuda itu mampu membawa penumpang 4 sampai 5 orang. Sementara ojek hanya mampu mengangkut 2 penumpang. Namun untuk motor atau mobil pribadi bisa langsung menuju makam. Tanpa harus transit terlebih dahulu seperti rombongan dengan bus. Kami memilih ojek untuk melanjutkan ke makam. Sejak awal perjalanan gas lansung ditancap di jalan yang naik itu. Beruntung driver-nya cukup lihai dan berpengalaman. Sehingga rasa was - was kami terbayar dengan waktu tempuh yang lebih cepat.

BERSAMBUNG ....