Cerita Touring Malang - Bali (Episode 1)

Touring Malang Bali

Akhirnya hari bersejarah itu datang juga, touring perdana ke Pulau Dewata. Suatu kesempatan langka yang sudah lama diimpikan tanpa sadar menjadi kenyataan. Semesta selalu mengerti arti sebuah mimpi, keinginanku yang kuat membuat Tuhan terharu untuk mewujudkanya. Sangat menarik sekali ketika kita dapat melihat langsung kehidupan di pedesaan Bali yang terkenal dengan orang – orangnya yang masih setia pada kekuatan budaya. Rasa malu selalau muncul ketika saya sebagai tuan rumah bumi nusantara belum juga berkunjung ke pulau yang masuk jajaran teratas destinasi wisata dunia ini, sedangkan mereka orang – orang asing tiap harinya hilir mudik disana. Saya ingin tahu banyak hal tentang Bali, ingin belajar sekaligus berwisata ria selagi masih muda.

Ada suatu hal yang belum pernah terfikirkan olehku, touring dengan motor pulang pergi Malang – Bali. Ya kami akan menempuh ratusan kilometer jalanan Jawa – Bali menembus hutan belantara dan menyeberangi pulau hanya dengan motor. Seminggu sebelum keberangkatan Mas Ardika mengingatkanku melalui pesan singkatnya untuk memastikan acara touring ini. Acara yang sampat ditunda dengan alasan untuk menghindari keramain musim liburan akir tahun ini akirnya jadi dilakukan pada pertengahan bulan januari. Kami sepakat untuk berkumpul dan memulai start dari rumah mas Aang di Sawojajar – Malang pada hari Selasa 12 Januari 2016. Rencananya kami akan menginab beberapa hari di rumah saudara Mas Ardika yang berada di Bali.


Tiba pada hari H semua anggota sudah berkumpul dengan persiapan minimalis. Kami hanya berempat Saya, Mas Wahyu,  Mas Ardika dan Mas Aang dengan dua motor matic yang siap tempur. Tidak banyak yang kami bawa, hanya beberapa lembar pakaian ganti dan yang paling penting adalah alat komunikasi dengan paketan data yang cukup untuk GPS nanti. Hari itu kami berangkat pukul 09.54 WIB, waktu dimana panas matahari mulai terasa dengan kondisi belum sarapan karena minim persiapan. Dengan bermodal nekat dan darah muda yang berapi - api kami mulai menyusuri Jalan Raya Kota Malang – Lawang yang saat itu bertepatan dengan acara macet rutinan. 

Jalan yang tidak terlalu lebar itu dipenuhi dengan motor, bus, dan truk – truk industri yang lagi asik menjalankan aktifitas siang hari. Kami sudah terbiasa menghadapi kondisi semacam ini, kondisi dimana kesabaran benar – benar diuji dan harus lulus karena ini masih bagian awal dari perjalanan panjang kami. Udara segar baru terasa ketika motor memasuki jalan layang Lawang menuju Kabupaten Pasuruan. Cuaca saat itu benar – benar ekstrim sehingga aspal jalan terasa seperti terbakar. Keadaan semacam ini tentu sangat berpotensi membuat ban motor bermasalah.



Kami terus bergerak ke utara menuju arah Kabupaten Pasuruan yang merupakan pintu gerbang menuju Jalan Pantura. Suasana berbeda kami temukan ketika memasuki jalanan di Kabupaten Pasuruan, jalanan yang relatif sepi dengan pemandangan beberapa pabrik industri besar yang sangat kontras dengan area persawahan disekelilingnya. Setelah melewati area sepi – sepi tersebut akirnya kami melihat tanda – tanda kehidupan berupa rumah – rumah penduduk disepanjang sisi jalan. Masih di Pasuruan, apa yang saya kawatirkan benar – benar terjadi, pukul 11.13 WIB motor yang kunaiki bersama Mas Wahyu mengalami masalah, ya benar sekali masalah klasik “ban bocor”. 

Untungnya tepat beberapa meter dari TKP (Tempat Kejadian Perkara) terdapat tukang tambal ban. Mungkin ini yang dimaksud dengan rejeki anak soleh. Setengah jam kemudian proses penembelan ban seleasai, itu artinya perjalanan siap dimulai lagi. Namun sebelum melanjutkan, kami tersadar bahwa perut kami juga butuh proses sarapan, tidak hanya itu rasa haus ditenggorokan pun benar – benar tak terhankan lagi. Sehingga setelah dilakukan rapat dadakan diputuskan bahwa kami akan melakukan sarapan siang dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari tukang tambal ban tepatnya di pojok perempatan kami menemukan warung kecil yang pas buat istirahat + sarapan siang. Menunya adalah nasi pecel yang dilengkapi dengan telor  bundar serta segelas es teh segar yang menggoda iman. 

Puas melampiaskan nafsu makan, perjalanan dilanjutkan dengan mengikuti papan hijau petunjuk jalan menuju arah Probolinggo. Beberapa tikungan kami lalui hingga sampailah kami di jalur pantura dengan ciri kas lurus memanjang itu. Sebelum memasuki Kota Probolinggo kami berhenti sejenak di SPBU untuk melakukan sembahyang sekalian mengisi bahan bakar perdana untuk motor tempur kami.

Kali ini perjalanan panjang benar – benar dimulai. Kondisi jasmani dan rohani sudah seratus persen, bahan bakar penuh, jalur panjang pun harus segera kami tempuh sebelum senja tiba. Kecepatan motor mulai dimaksimalkan, satu persatu kendaraan saingan yang berlalu lalang  mulai kami tinggalkan. Salip kanan salip kiri dua motor matic yang di joki oleh Mas Wahyu dan Mas Aang menunjukan kebolehanya. Tanpa terasa kami sudah sampai di jantung Kota Probolinggo, keadaan kota yang ramai memaksa kami untuk berjalan lebih santai sembari menikmati suasana kota ditepian pesisir jawa tersebut. 

Arah selanjutnya adalah Paiton, kawasan mega proyek industri pembangkit listrik yang menyuplai kebutuhan listrik Jawa Bali. Lokasinya sangat besar  berada tepat di bibir pantai dan tebing batu disebelahnya. Jalur pantura yang melintasi PLTU paiton sangat dekat dengan kawasan industri tersebut, hanya dipisahkan pagar pembatas yang tidak mampu menutupi kemegahannya. Selesai melewati area Paiton kami memasuki kawasan hutan bakau yang indah. Hanya tampak daun warna hijau dan jalanan aspal ditengahnya. Puas dengan hutan bakau, ada lagi pemandangan indah pantai dengan kapal – kapal nelayan yang bersandar. Sementara motor tetap berjalan santai dengan kecepatan 70 Km/Jam. Jalannya agak sedikit berlubang sehingga kami harus tetap waspda dan hati – hati.


Tanpa terasa perjalanan kami sudah melalui beberapa kota. Daerah besuki, pasir putih dan panarukan dalam sekejap kami libas tanpa henti. Motor terus berpacu dengan waktu, sesekali karena ingin  segera sampai, terkadang jarak kami dengan bagian belakang truk gandeng itu hanya beberapa senti. Konsentrasi harus tetap tinggi, ketika memungkinkan untuk mendahului langsung saja kami menerobos dengan berani. Tepat di sore hari saya melihat barisan neon box di sisi jalan dengan tulisan SITUBONDO. Itu artinya kami tinggal sedikit lagi untuk sampai ke Banyuwangi. Ternyata hal yang paling seru masih akan dimulai, kami harus melewati puluhan kilometer hutan jati Taman Nasional Baluran. Sebuah tempat yang sepi sunyi dengan jalan beraspal membelah rimbunya pohon – pohon jati. Untung saja saat itu sinar matahari sore masih bisa menerangi perjalanan. Sensasi touring benar – benar terasa di tempat ini, udara masih segar dan mata seolah dimanjakan dengan alaminya hutan di timur Jawa ini.


Hari mulai petang namun suara adzan belum lagi terdengar, tampak dari jauh saya melihat gapura besar selamat datang di Banyuwangi. Disekeliling jalan banyak pohon kelapa yang dibawahnya terdapat kebun cabe yang sangat luas. Ketika magrib datang sampailah kami diujung timur pulau Jawa. Dari jalan yang berbelok itu tampak sebuah pulau diseberang, ya itu memang pulau Bali. Akirnya kami tiba di Pelabuhan Ketapang, namun sebelum menyebrang, perjalan kami hentikan di warung makan depan terminal. Di tempat tersebut kami sepakat memesan lalapan lele dengan segelas es jeruk. Hanya dengan lima belas ribu rupiah perporsi perut sudah kenyang hatipun senang.  

Perlahan namun pasti motor kami mulai memasuki pintu gerbang Pelabuhan Ketapang. Seperti jalan pada parkiran mal, motor dituntun tepat di depan pos pembayaran tiket. Empat puluh enam ribu rupiah kami keluarkan untuk membayar ongkos dua sepeda motor menaiki kapal feri, hitungannya adalah per-kendaraan sedengkan penumpangnya sebagai bonus alias tidak masuk hitungan. Usai lembaran tiket sudah ditangan motor berjalan kembali mengikuti petunjuk dan sampai pada pos pemeriksaan, beberapa polisi menyuruh kami untuk memperlihatkan kelengkapan surat kendaraan termasuk SIM. Pemeriksaan aman dan akirnya sebuah kapal feri berukuran besar yang bersandar di dermaga menanti untuk kami tumpangi.

Dibawah gelapnya malam dengan beberpa lampu penerangan yang tak terlalalu terang ,motor kami melaju santai masuk ke dalam badan kapal bagian bawah. Bagian bawah kapal memang difungsikan sebagai parkir.  Motor, mobil, ataupun truk semua berjajar rapi siap untuk dikirim ke pelabuahan Gilimanuk. Sedangkan pada lantai dua terdapat kursi - kursi tersusun rapi yang dikususkan bagi penumpang. Meskipun di dalam kapal fasilitasnya lumayan lengkap, bahkan ada kafe kecil untuk sekedar minum dan makan. Malam itu kami sangat menikmati perjalanan diatas kapal, air laut yang tenang dan suasana malam sulit untuk dilupakan.

Pemandangan puluhan kapal yang beraktifitas dua puluh empat jam itu tergambar jelas lewat kombinasi cahaya lampu di badan kapal, suasananya sangat mirip dengan pasar malam cuma bedanya ini berada ditengah lautan. Sekitar setengah jam lebih kami diombang ambingkan diatas lautan selat bali. Bel kapal berdering dengan nyaringnya, memberikan tanda bahwa kapal akan segera merepat di tepian  dermaga pelabuhan Gilimanuk. Kami bergegas menuju tangga turun ke lantai paling bawah kapal dan bersiap melanjutkan perjalanan darat. Pintu dibuka dan satu persatu kendaraan mulai keluar menuju pos pemeriksaan. Kami dihadang lagi oleh beberapa polisi, kali ini KTP ikut diperiksa. Lolos dari pemeriksaan langsung saja pintu gerbang pulau bali itu kami trobos dengan penuh semangat.
Untuk pertama kalinya saya menginjakan kaki di tanah Bali.



Malam itu semua terlihat lancar, motor berjalan beriringan menuju jalur ke pusat kota. Saya dan Mas Wahyu berada di depan sebagai navigator, akan tetapi cobaan datang lagi. Belum sampai beberapa kilometer di daerah Gilimanuk, Mas Aang dan Mas Ardika hilang dari jangkaun mata. Saya mencoba menghubungi mereka namun masih sulit hingga lima belas menit kemudian baru telponku diangkat. Ternyata mereka sudah berada di daerah hutan Melaya jauh didepanku. Akirnya kami sepakat untuk janjian di HardRock Coffe depan pantai Kuta, padahal untuk sampai di tempat tersebut kami harus menempuh separuh lebih pulau bali. Karena tidak mungkin jika mereka harus menunggu kami sementara kondisi gelap ditengah hutan merupakan tempat yang rawan. 

Perjalanan pun akirnya dilakukan dengan terpisah, hal yang paling menakutkan adalah ketika kami harus menembus kegelapan hutan bali selatan. Untuk berjaga – jaga kami mengisi BBM meskipun jarum indikator masih menunjukan setengah. Mas Wahyu sempat bertanya pada mbak petugas SPBU, ternyata lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai di Kuta adalah sekitar 3 jam lebih. Walhasil motor sudah berjalan menembus hutan di daerah Tukaddaya, Banyubiru, Negara dengan selamat. Di daerah negara ini mulai terasa adanya pemukiman penduduk, ada juga Masjid tepat disisi jalan namun bangunan pura – pura juga sudah mulai tampak. 

Dari Negara kami langsung menempuh lagi daerah Rambutsiwi, Yahembang, Pekulatan, dan Gumbrih. Kesemuanya berada di daerah pinggir pantai. Namun karena malam saya hanya mampu mencium aroma amis air laut, karena jarang sekalai ada penerangan. Semua serba gelap, hanya lampu – lampu dari mobil dan truk yang sesekali memperlihatkan lenggak lenggok jalan disisi tebing. Suasana lalu lintas saat itu tergolong sepi, akan tetapi kendaraan besar seperti truk dan kendaraan pertamina besar itu terkadang menyulitkan laju motor kami. Panas dibokong sudah mulai terasa karena motor terus melesat tanpa istirahat.

Surabratan,  Antasan, Salemadeg berhasil ditempuh dengan semangat empat lima. Tiba – tiba ditengah jalan kami dikagetkan dengan kegiatan pemeriksaan polisi. Razia Polisi ini sampai tiga kali kami alami, yang terakir di daerah Tabanan barang – barang kami sempat digeledah sebagai prosesi keamanan untuk masuk daerah utama wisata. Lolos dari pemeriksaan perjalanan berlanjut dengan sedikit santai karena tujuan kami sudah hampir sampai. Rasa haus dan capek karena belum istirahat sejak dari pelabuhan akirnya membuat kami untuk memutuskan berhenti sebentar di alfamart depan masjid daerah Kediri. Empat botol air minum dan bebrapa roti kering habis Saya lahab bersama Mas Wahyu. Saat duduk itu saya mendapat kiriman pesan watsapp dari Mas Aang, pesan yang berisi posisi dimana mereka berada. 

Ternyata mereka masih sepuluh kilometer didepan kami tetapi belum sampai Kuta. Saya dan Mas Wahyu langsung menindak lanjuti loksi dan setelah melalui beberapa tikungan GPS mulai menunjukan TKP berada. Motor  mulai kami pelankan masih saja belum kelihatan teman kami itu. Akirnya setelah menghitung gang – gang kecil itu kutemukan juga Mas Aang dan Mas Ardika berada di emperan toko, sedang sibuk mengisi batrey HP. Perjumpaan kembali dengan anggota terasa seperti senetron FTV.   

Perjalanan belum usai karena kami belum menemukan tempat untuk berteduh malam. Alamat saudara Mas Ardika di Desa Adat Selat, Abiansemal, Kab. Badung ternyata masih setengah jam dari Denpasar, tempat kami berhenti malam itu. Tanpa menunggu lama kami langsung menuju arah utara mencari alamat tersebut dengan bergerak lambat sembari menikmati suasana malam di pulau tujuan ini. Tampak jajaran arsitektur Bali dengan aroma wangi bunga yang kuat di sepanjang jalan. Semua serba pura, bentuknya lebih mirip candi dan anehnya semua keluarga di Bali memiliki bangunan kas tersebut. Malam terus larut, waktu menunjukan pukul 23.40 WITA pencarian alamat mulai memasuki desa yang asri. Setiap kami lewat banyak kumpulan anjing – anjing penjaga menyambut kedatangan kami dengan suaranya yang membuat orang seperti saya ketakutan. Masih di atas motor yang berjalan Mas Ardika mulai menghubungi saudaranya yang akan menjadi tujuan kami untuk menginab. Berulang kali ditelpon, namun belum juga mendapat jawaban. Mungkin sudah terlalau malam juga, jadi wajar kalau saudaranya sudah tertidur.



Tampa peduli waktu, kami tetap mencari alamat yang dituju, dengan mengandalkan ingatan mas Ardika yang setahun lalu sudah pernah berkunjung kesana. Jalanan kecil di pinggir sawah, jembatan dengan kali yang dalam, bahkan hutan desa sudah kami susuri tepat pada tengah malam yang dingin. Namun tanda – tanda ketemunya rumah tujuan belum juga kelihatan. Suasananya bisa dibilang mistis tapi asik untuk yang suka tantangan. Desa terasa hening, sunyi, sepi hanya ada beberapa anak muda yang masih tongkrongan di poskampling. Kami sudah bertanya, bahkan sudah tiga kali dengan jawaban yang menambah kami kebingungan. 

Selain hari sudah malam, Desa Sangeh yang menjadi tujuan kami tersebut memiliki wilayah yang luas dan rute jalan yang banyak, belum lagi bentuk rumah yang semuanya mirip membuat sulit untuk mengenali satu rumah tertentu. Bensin hampir menipis sementara motor masih saja terus berjalan tanpa arah yang jelas. Akirnya kami menyerah, motor kami hentikan dipinggir jalan dekat toko karena badan sudah lelah. Setelah di lakukan rapat besar anggota diputuskan malam itu kita akan tidur beberapa jam di SPBU, sambil menanti kabar dari saudara Mas Ardika esok pagi. Dari pinggiran toko kami bergerak ke utara ada sebuah SPBU namun sudah tutup bahkan sudah ada pagar pembatasnya. Namun kami tak kekurangan akal, pagar pembatas dari rantai plastik itu kami buka paksa. Sebuah tempat dipojok SPBU yang lumayan bersih menjadi sasaran kami. Sumua barang bawaan kami turunkan, sebuah tas jadi alih fungsi sebagai bantal yang nyaman. Udara dingin sangat terasa, seolah jaket kami tak mampu lagi memberi kehangatan. Perjalanan panjang yang memakan waktu hampir satu hari itu, kami akiri dengan tidur di tempat yang harus disukuri, ya sebuah pom bensin desa.


 Jam 4 WITA kabar gembira  itu datang, sebuah telfon dari tuan rumah menuntun kami untuk sampai pada TKP yang semalaman kami cari - cari. Kami dijemput diperempatan dekat dengan objek wisata desa Sangeh. Jalanan semalam yang membuat kami bingung kami lewati lagi, dan tibalah saatnya kita sampai di pintu gerbang sebuah rumah adat Bali yang sederhana.



Baca Cerita Selanjutnya : Ada Cerita di Pantai Kuta (Episode 2)