Ada Cerita di Pantai Kuta (Episode 2)

Pagi pertama di Pulau Dewata setelah perjalanan panjang itu terasa mengharukan.  sebuah perjalanan melelahkan yang berakir dengan tidur di pom bensin pinggir jalan. Seribu penderitaan perjalanan itu membawa kami pada rumah adat Bali sederhana milik saudara Mas Ardika. Segelas kopi hitam hangat menyambut kedatangan kami bersamaan dengan munculnya hangat mentari yang mengintip dari celah - celah pepohonan asri. Suasananya benar - benar damai, rumah - rumah adat, kebun hijau sederhana dan sebuah pura di pojok rumah seakan ikut menyambut kedatangan kami. Keluarga tuan rumah dengan ramah mengajak berbincang ringan yang memberikan kesempatan pada kami untuk mengakrapkan diri. Dari obrolan hangat pagi itu, akirnya Pantai Kuta menjadi tujuan pertama kami yang akan kami kunjungi. Namun keberangkatan ketempat tujuan baru akan kami lakukan setelah pagi beganti siang. Pagi pertama di Pulau Bali itu kami habiskan dengan tiduran santai, sambil berandai - andai kalau nanti di pantai bisa ketemu bule cantik atau gadis bali solehah yang pas di hati.

Baca juga :  CeritaTouring Malang – Bali (Episode 1)


Menikmati Perjalanan
Terbangun dari tidur panjang, siang itu kami sudah siap dengan keberangkatan menuju Pantai Kuta yang legendaris. Rabu, 13.01.2016 dari desa adat Selat, desa yang menjadi tempat kami menginab saat itu, kami mulai bergegas menuju selatan pulau yang memang terkenal dengan surganya wisata. Jaraknya cukup jauh, sekitar 40 menit  jika menggunakan sepeda motor. Ya, menunggangi motor menyusuri jalanan di Bali memang sesuatu, kami jadi tahu betul bagaimana  hiruk pikuk kehidupan di pulau cantik itu. Rute jalannya tak terlalu rumit, akses cukup mudah dengan petunjuk arah yang terpampang di berbagai sudut jalan. Yang menyenangkan lagi kami dibuat takjub dengan bangunan - bangunan  bercita rasa seni tinggi, selain pura - pura, banyak juga patung besar dalam bentuk monumen yang memanjakan mata, belum lagi rumah galeri yang berjajar memamerkan aneka barang kerajinanan dari para seniman.

Suasana Jalan Legian
Setelah melewati subuah Masjid Besar di Denpasar, kami mulai merasakan atmosfer kepadatan perkotaan. Motor terus berjalan ditengah - tengah keramaian, sempat juga kami terjebak kemacetan kecil ditambah dengan panas matahari siang yang seakan membakar kulit disekujur jasad berjalan kami. Pukul 14:03 roda motor mulai berputar di sebuah jalan kecil berpafing, bentuknya seperti gang dengan konsep layaknya suasana jalanan di luar negeri. Tempat itu bernama “Jalan Legian”, sebuah nama jalan yang tidak terlalu asing di telinga pecinta wisata. Kafe - kafe disisi kiri dan kanan jalan dipenuhi dengan turis - turis manca negara yang asik duduk di meja santai mereka. 

Ada juga pedagang pakaian renang, topi, kacamata dan aksesoris - aksesoris pendukung ritual bagi kita yang ingin menikmati sensasi berpantai. Namun yang saya kagumi mereka tak hanya sekedar berjualan, café – café dan pertokoan di sepanjang Jalan Legian itu sangat memperhatikan betul estetika dan lingkungan. Desain - desainya dibuat semenarik mungkin dengan ditambah pohon - pohon besar yang rindang menjadi alasan kenapa tempat ini memang layak untuk dikunjunngi. Kami sempat berputar sampai dua kali ketika melewati jalan ini, bukan karena kesasar tapi karena kami memang ingin menikmati betul suasana langka itu ( sebuah alasan klasik pemandu dadakan karena salah jalan ).

Lebih baik kesasar dari pada bertanya begitulah kata iklan yang sepertinya cocok dengan keadaan kami saat itu, setelah putaran kedua jalan Legian kami beralih ke jalan yang benar. Jalan yang seharusnya adalah belok kanan akirnya kami sadari, perlahan namun pasti aroma pantai mulai tercium juga di hidung kami. Beberapa mobil dan motor mulai berseliweran menuju satu arah itu, ternyata benar kami telah sampai pada jalan lurus pinggiran Pantai Kuta, Namun sayangnya pemandangan pantai masih terhalang pagar pembtas yang lumayan tinggi. Tempat parkir mulai kelihatan di pinggir – pinggir pagar tersebut, ketika saya menoleh kekanan saya melihat monumen gitar besar legendaris milik HardRock Café, salah sayu tempat yang paling dicari para pecinta foto - foto selfi. Kami parkir motor tepat di depannya, hanya dua ribu rupiah untuk bayar parkir kita bisa menikmati pesona pantai kelas dunia sepuasnya, tidak ada tiket masuk, sungguh luar biasa.

Kaki mulai melangkah pada pintu gerbang, salah satu akses menuju surga dunia selatan pulau Dewata. Pantai Kuta yang sudah lama saya impikan mulai menampakan indikator - indikator keindahanya. Kami berjalan santai dibawah rimbunya pepohonan pesisir mengamati aktifitas manusia - manusia didalamnya. Ada yang berjualan layangan, jasa pemijatan, ada juga jasa kepang rambut yang menjadi tren para gadis bali. Untuk bisa menikmati sejuknya duduk dibawah pohon - pohon pantai, kita bisa menyewa tikar seharga dua puluh ribu rupiah, atau kalau mau mode hemat kita bisa duduk langsung bersentuhan dengan pasir pantai, toh pasirnya juga putih bersih. 


Kabar baiknya adalah kita bisa mendapatkan tumpangan kursi gratis dibawah payung - payung lebar itu, tapi syaratnya harus beli minuman yang mereka jual mulai dari sepuluh ribuan, cukup murahkan ?. Duduk bersama teman sambil bercengkrama diatas kursi - kursi merah sambil menikmati deburan ombak memang menjadi momen yang sulit terlupakan. Apa lagi kalau hanya duduk berduaan bersama pasangan, kesan romantis ala pantai eksotis lah yang pasti kita dapatkan.  Atau yang lebih keren lagi kita bisa menyewa kursi panjang yang bisa dibuat untuk tiduran sambil ditemani segelas es jeruk manis, tak kalah lah dengan pantai sekelas hawai.



Berteduh di Bawah Payung Merah (Pantai Kuta)
Suasana Khas Pantai
Asik menikmati suasana di tepi, kami jadi lupa diri kalau belum sampat menyentuh air asin laut selatan bali. Rasa penasaran yang menghinggapi akirnya tertumpahkan dengan melangkahkan kaki diatas pasir panas pantai. Padahal siang kala itu hampir saja berakir, namun panasnya tetap setia pada butiran pasir - pasir. Mungkin inilah yang dicari bule - bule cantik itu disana, mereka hampir bertelanjang ditengah teriknya matahari siang. Tiduran di pantai sambil tengkurap atau berjemur di hamparan pasir putih yang luas itu menjadi pemandangan yang lumrah disana. Pantai kuta sungguh luar biasa, bentuknya yang memanjang luas hampir dua kilometer itu terlihat seperti oaese gurun pasir yang menakjubkan. Airnya yang biru jernih seolah meluas tanpa bats. Dari sini pula kita dapat melihat langsung  aktifitas pesawat terbang bandara Ngurahrai, karena memang letaknya lumyan dekat. Posisinya yang menghadap langsung ke arah barat membuatnya dijuluki sebagai pantai matahari terbenam. 

Karena pada sore hari kita bisa dengan mudah menikmati sunset indah di sana. Kuta  memang terkenal bersih dan rapi, ombaknya pun juga lumayan tinggi, jadi untuk yang suka berselancar tempat ini memang cocok untuk dicoba. Di pinggir pantai banyak yang menyewakan peralatan selancar sekaligus intrukturnya yang memang terlihat professional. Sesekali terlihat juga atraksi selancar ditengah ombak besar yang menggulung pantai, hal itu menjadi bukti lagi kalau pantai ini memang multifungsi. Lalu lalang orang, baik yang berduaan maupun yang rombongan tak henti - hentinya berdatangan di sepanjang pasir yang menghampar. Ada yang bermain pasir dengan anak - anak, ada yang bermain ombak dan air, namun yang banyak ditemui adalah orang - orang dengan seperangkat kamera yang dengan serius mengabadikan momen - momen terbaik mereka.



Jalan - Jalan di Pinggir Pantai Kuta
Walaupun terkenal dengan matahari terbenamnya, namun kami memilih menikmati pantai Kuta dari sisi yang lain. Sebelum sore menjelang, kami sempatkan berjalan santai lagi di luar pagar dengan melihat langsung jajaran tempat perbelanjaan, megahnya hotel – hotel penginapan, dan beberapa kafe – kafe terkenal. Di pinggir pagar tersebut ada semacam trotoar yang kusus disediakan untuk pejalan kaki yang dilengkapi tempat duduk santai disampingnya. Sempat juga kami duduk sebentar sembari berfoto selfi dan mengamati tingkah laku bule – bule asing eropa, cina, amerika latin, india, jepang yang terlihat jelas dari ciri fisiknya. Rombongan domestikpun tak kalah hebohnya mereka punya cara sendiri untuk berekspresi. Tak sampai menunggu sunset datang kami pun sudah bergegas pulang, karena masih banyak tempat lagi musti kami kunjungi. Sebuah pengalaman yang sungguh menarik untuk diceritakan dan akan menjadi sebuah alasan untuk datang kembali disini suatu saat nanti.


Dari parkir depan HardRock coffe kami mulai keluar dari kawasan pantai, menuju rute rumah dimana tempat kami singgah. Kami sengaja memilih jalan yang berbeda untuk pulang agar menambah sensasi berpetualang menjelang petang. Dalam perjalanan pulang ada saja cerita baru yang menambah keseruan. Mulai dari …………