Pantai Gatra dan Pantai Tiga Warna Malang



Perjalanan kali ini kami akan membawa sahabat pembaca semua menuju surga dunia di Pantai Selatan Malang. Tempat yang terkenal itu bernama pantai Gatra dan Pantai Tiga Warna. Pantai yang memang terjaga kelestarianya ini sangat menarik pengunjung baik lokal maupun asing, pasalnya disana ada banyak pemandangan langka yang wajib dicoba. Namun bukan perkara mudah untuk sampai ke Malang Selatan, Perjalanan yang cukup jauh itu tentu membutuhkan banyak persiapan, tiket masuk pun juga harus di pesan dulu jauh - jauh hari. Karena ada peraturan batasan jumlah pengunjung di Pantai Tiga Warna sebagai upaya untuk tetap menjaga wilayah konservasi itu. Kebetulan bertepatan dengan hari Sabtu, pagi - pagi sekali kami sudah janjian di salah satu gerbang UM yang terletak di pusat kota, janjiannya sih pukul 5 pagi, tapi kenyataannya ya beda lagi. Karena menunggu teman dan sebagainya akirnya perjalanan kami mulai keberangkatan pukul 06.00 pagi menuju arah Kepanjen. Kami menempuh perjalanan kurang lebih 150 Km dengan rombongan yang terdiri dari 10 Motor atau sekitar 20 orang.



Perjalanan yang memakan waktu hampir tiga jam itu terasa lebih menyenagkan karena medan yang ditempuh tak henti – hentinya menyuguhkan pemandangan alam yang mengesankan. Untuk rute perjalanannya  cukup mengikuti petunjuk arah ke pantai sendang biru, akan ada banyak papan penujuk jalan (warna hijau) yang mengarahkan  menuju tempat eksotis ini.

Suasana pedesaan, sawah terasiring, hutan, jalan naik turun dan kadang sedikit menanjak semakin menambah keseruan perjalanan pagi itu. Beruntung cuacanya juga cukup cerah, sedikit panas dengan udara segar khas pegunungan. Setelah melewati perjalanan ekstrim kami juga sempat mencoba jalur lintas selatan versi Malang yang sungguh luar biasa indahnya. 




Barisan bukit hijau yang menjulang dengan batu – batu besar itu berpadu dengan jalan panjang yang sepi khas Jalur Lintas Selatan. Meskipun masih ada proses perbaikan namun kondisi jalan cukup lumayan untuk mempermudah kami sampai ke lokasi.

Beberpa waktu berlalu, aroma pantai mulai tercium dan semakin lama semakin terasa. Namun ternyata itu bukan pantai yang kami tuju, perjalanan masih butuh beberapa kilometer lagi untuk sampai ke Gatra dan Tiga Warna. 

Sekitar pukul 9 pagi akirnya kami sampai juga di  Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Kabupaten Malang, Lokasi dimana pantai – pantai yang indah itu berada. Sebenarnya ada tiga pantai sekaligus disini yang letaknya satu garis. Selain pantai Gatra dan Tiga Warna ada juga pantai yang berbentuk teluk namanya Pantai Clungup. Oleh karena itu dalam satu kali kunjungan ini kami akan menikmati tiga pantai sekaligus.

Kembali ke perjalanan, setelah sampai di Desa Sitiarjo  kami menjumpai gang yang cukup sempit seukuran satu mobil besar untuk menuju gerbang pantai. Jalan menuju gerbang masih belum beraspal hanya ada cor – coran itupun banyak yang berlubang. Sebelum sampai tempat pengecekan tiket masuk, rombongan kami harus turun dulu dari motor. Karena kondisi jalan yang berlumpur dalam sulit untuk dilewati. Kami memutuskan parkir di tempat yang sebenarnya cukup jauh dari pintu gerbang. 


Perjalanan selanjutnya di tempuh dengan jalan kaki melewati kubangan lumpur akibat musim penghujan. Sudah berjalan cukup lama ternyata masih sampai pada tempat pengecekan reservasi. Disitu ada pengecekan data sesuai reservasi yang sudah jauh – jauh hari kami rencanakan. Bersyukur semua lengkap tanpa ada satu pun yang hilang diperjalanan. Kami juga sempat melihat rombongan yang akan pergi ke tiga warna namun karena belum terdaftar mereka tidak bisa masuk. Kusus untuk pantai tiga warna hanya menerima kunjungan terbatas ser 25 rombongan saja perhari. Satu rombongan terdiri dari 10 orang, selain itu kami juga diwajibkan menyewa tour guide untuk menemani perjalanan nanti. 



Petualangan dimulai dari pintu gerbag yang didepanya ada jembatan dan gapura yang terbuat dari bambu. Berbagai persiapan kami lakukan, termasuk beberapa paket kamera untuk dokumentasi nanti. Setelah gerbang  memasuki pos pertama, di pos ini semua barang bawaan  yang berpotensi menjadi sampah di data satu persatu. Mulai dari plastik, Kertas, Bungkus Rokok, dan Tisu semua tak luput dari introgasi petugas penjaga. Sampah yang sudah di data tersebut nantinya ketika sudah selesai kunjungan akan didata ulang. Jika jumlah sampah tidak sesuai dengan data awal, maka pengunjung akan dikenakan denda sebesar Rp.100.000 per sampah. Cara ini diterapkan untuk menjaga kebersihan pantai dan terbukti sangat ampuh.

Dari pos pertama ini kami harus berjalan sendiri menuju pos dua, dimana tour guide sudah siap menanti kami disana. Petualangan kecil kami mulai di wilayah yang merupakan konservasi tersebut. Pertama  melewati semacam kolam dengan hutan bakau disekelilingnya. Ya, kami setidaknya sudah berbasah - basahan kecil meskipun hanya di bagian bawah. Kesanya masih alamai, disitu ada papan petunjuk menuju jalan setapak yang membawa kami menyusuri hutan asri. 



Pantai pertama yang terlihat adalaha pantai clungup, dari kejauhan kami melihat seperti teluk yang luas dengan hutan bakau di sekelilingnya. Namun kami hanya lewat saja, perjalanan terus berlanjut menuju pos dua. Semua anggota di cek lagi, apakah ada yang nyasar atau hilang. Di pos dua ini kami ditemani dua tour guide handal dan berpengalaman, perjalanan dimulai dan selfi pun menjadi tradisi. Petualangan ini langsung menuju pantai Tiga Warna mengingat jam kunjungan terbatas yang diterapkan oleh pengelola. Jarak yang harus ditempuh hampir satu kilometer. harus berhati – hati disini, karena aksesnya berupa hutan, sangat berpotensi tersesat jika tanpa pendamping perjalanan. 

Sekitar 15 menit perjalanan sampailah kami di Pantai Tiga Warna. Perjalanan yang panjang itu akirnya terbayarkan sudah dengan surga dunia di depan mata. Air pantai yang jernih dan tanpa sampah seakan menyihir mata. Dari kejauhan airnya tampak tiga warna, mungkin efek kedalaman pantainya yang membuat gradasi tiga warna. Namun terlepas dari itu tempat ini memang sunguh menakjubkan.


Tak melewatkan kesempatan, kami juga menyewa peralatan snorkling untuk melihat kehidupan laut  didalam sana. Harganya dua puluh ribu rupiah per orang,  sudah mendapat kacamata selam dan baju pelampung. Trumbu karang dan ikan - ikan hias di tiga warna ini terlihat cukup terawat. Kami pun menikmati keindahannya dengan sangat mudah. Tidak perlu pergi ke tengah, hanya perlu berenang sedikit dari ujung pantai. 

Duduk menghadap matahari di pasir lembut pantai tiga warna adalah cara termudah untuk bersantai. Memandangi biru air laut dan gradasi pantai dengan hembusan angin yang menyejukkan. Pantaslah kalau tempat ini cukup di mininati banyak wisatawan.


Tidak terasa sudah dua jam kami bermain di Tiga Warna, itu artinya kami harus bergegas menuju perjalanan selanjutnya. Sebelum memulai perjalanan tour guide memberi sebuah pilihan, langsung menuju pantai gatra atau mbolang dulu menyusuri rute yang lebih panjang. Karena kami termasuk petualang sejati, kami memilih rute tercepat untuk sampai di Pantai Gatra. Akirnya  semua sepakat dan berlanjut dengan menyusuri jalan setapak yang sempat kami susuri tadi. Sebenarnya pantai Gatra berada setelah pantai Clungup namun karena alasan waktu kami lebih mendahulukan tiga warna. Perjalanan menuju Pantai Gatra lebih ekstrim lagi, di tengah terik panas siang hari kami berjalan seolah tanpa beban. 

Pantai Gatra akirnya terlihat juga, lebih indah dari pantai sebelumnya. Tempat yang luas, pasir yang putih bersih tanpa sampah, dan pulau kecil di depan pantai membuat betah kami untuk berlama – lama disini. Di pantai gatra tidak ada ketentuan jam kunjungan, disini bebas mau seharian boleh asalkan tetap jaga kebersihan. Di pantai gatra juga disedikan peralatan untuk camping. 





Ada juga fasilitas untuk mandi dan solat meskipun kecil dan harus antri. Pantai gatra yang luas dan berpasir putih adalah surga bagi penikmat alam. 

Hari semakin sore dan kami harus rela meninggalkan tempat yang keren ini. Perjalanan menyusuri jalan setapak kembali kami lalui menuju pos pemeriksaan sampah. 


Namun drama mencekam baru saja dimulai, ketika melewati pos pemeriksaan sampah, ada empat lembar kertas minyak yang terdata hilang entah kemana. Kalau benar – benar hilang berarti uang empat ratus ribu harus rela kami keluarkan untuk menebus empat lembar kertas minyak tersebut.

Berbagai alasan sudah kami persiapkan tapi petugas tak mau tau, sampah yang masuk harus sama dengan sampah yang keluar. Atau kami harus kembali lagi mencari kertas tersebut entah dimana hilangnya. Kepanikan akhirnya terpecahkan ketika satu persatu sampah didalam tumpukan plastik dikeluarkan. Ternya empat lembar kertas itu bersembunyi di dalam tumpukan sampah lainya. Akirnya masalah selesai, kami pun bisa tidur pulas malam ini.  

Perjalanan pulang sore itu kami lakukan lebih santai sembari menikmati mentari yan semakin lama semakin meredup. Sempat juga sekali membeli bensin di warung pingir jalan untuk jaga – jaga selama di perjalanan, karena memang tidak ada SPBU di jalur yang pajang itu. Sepuluh motor beriring – iringan kembali ke jalan pulang, dan syukur tidak ada halangan yang berarti selama di jalan. Sebelum magrib rombongan terpisah menjadi dua, aku memilih bersama rombongan terakir. Karena perut keroncongan akirnya lalapan pinggir jalan itu beruntung kami kunjungi untuk makan – makan. Suasana canda terasa hangat sore itu, melepas lelah dari liburan mengesankan yang kami alami dengan senang hati. Pelajaran yang kami dapat tentang sampah hari ini akan kami ingat – ingat sampai mati.  tidak boleh sekedar menjadi penikmat alam, akan tetapi  harus merawatnya sepenuh hati. Karena alam bukan hanya milik  saat ini namun juga untuk warisan anak – cucu  di masa depan nanti.